MEMAHAMI MAKNA AL-BARZANJI
Pada waktu-waktu tertentu dimasyarakat pada umumnya kita sering membacakan kitab Al Barzanji. Di Indonesia, kita biasa menyebutnya “kitab Barzanji” atau “syair Barzanji”. Di berbagai belahan Dunia Islam, syair Barzanji lazimnya dibacakan dalam kesempatan memperingati hari kelahiran (maulid) Sang Nabi. Dengan mengingat-ingat riwayat Sang Nabi, seraya memanjatkan shalawat serta salam untuknya, orang berharap mendapat berkah keselamatan, kesejahteraan, dan ketenteraman. Sudah lazim pula, tak terkecuali di negeri kita, syair Barzanji didendangkan biasanya, di kala menyambut bayi yang baru lahir dan mencukur rambutnya. Karena itu adalah sebuah tradisi yang sering dilakukan dari dahulu.
Oleh karena itu juga kita harus bisa memahami makna dan tujuan dari Al Barzanji itu sendiri karena pada saat sekarang ini kita sering mendapati pemahaman yang lain tentang syair tersebut yang sering kita lakukan pada umumnya, ada yang mengatakan itu dilarang (Haram) untuk dilakukan karena itu perbuatan tersebut tidak dilakukan Rasulallah SAW (Bid’ah). Meraka mengatakan hal tersebut tapi meraka juga tidak memahami makna bid’ah itu sendiri.
Dari berbagai pemahaman yang timbul dikalangan masyarkat pada masa sekarang, saya sedikit-banyaknya ingin memberikan sedikit pengetahuan mengenai Al Barzanji.
Al Barzanji erat kaitannya dengan Perayaan Maulid yang ada pada masyarakat pada umumnya. Perayaan Maulid pada mulanya dirintis oleh Shalahuddin Al-Ayyubi. Yang sebenarnya Maulid tersebut berperan menghidupkan kembali Maulid yang pernah ada pada masa Dinasti Fatimiyah. Tujuannya, membangkitkan semangat jihad (perjuangan) dan ittihad (persatuan) tentara Islam melawan crusaders (Pasukan Salib) yang saat itu memang memerlukan keteguhan dan keteladanan. Dari itulah muncul anggapan, Shalahuddin adalah penggagas dan peletak dasar peringatan Maulid Nabi. [Salahuddin Al Ayubi itu mazhab-nya Syafie]
Adapun historisitas Al Barzanji berawal dari lomba menulis riwayat dan puji-pujian kepada Nabi yang diselenggarakan Shalahuddin pada 580 H/1184 M. Dalam kompetisi itu, karya indah Syekh Ja`far al-Barzanji tampil sebagai yang terbaik. Sejak itulah Kitab Al-Barzanji mulai disosialisasikan pembacaanya ke seluruh penjuru dunia oleh salah seorang gubernur Salahudin yakni Abu Sa`id al-Kokburi, Gubernur Irbil, Irak
Di Indonesia, tradisi Berzanji bukan hal baru, terlebih di kalangan Nahdliyyin (sebutan untuk warga NU). Berzanji tidak hanya dilakukan pada peringatan Maulid Nabi, namun kerap diselenggarakan pula pada tiap malam Jumat, pada upacara kelahiran, akikah dan potong rambut, pernikahan, syukuran, dan upacara lainnya. Bahkan, pada sebagian besar pesantren, Berjanjen telah menjadi kurikulum wajib.
Selain al-Barzanji, terdapat pula kitab-kitab sejenis yang juga bertutur tentang kehidupan dan kepribadian Nabi. Misalnya, kitab Shimthu al-Durar karya al-Habib Ali bin Muhammad bin Husain al-Habsyi. Ada pula al-Burdah karya al-Bushiri dan al-Diba’ karya Abdurrahman al-Diba’iy. Namun, yang masyhur di masyarakat adalah al-Barzanji dan al-Diba’.
Al Barjanji sendiri merupakan karya tulis berupa puisi yang terbagai atas 2 bagian yaitu Natsar dan Nazhom. Bagian natsar mencakup 19 sub-bagian yang memuat 355 untaian syair, dengan mengolah bunyi ah pada tiap-tiap rima akhir. Keseluruhnya merunutkan kisah Nabi Muhammad SAW, mulai saat-saat menjelang Nabi dilahirkan hingga masa-masa tatkala beliau mendapat tugas kenabian. Sementara, bagian Nazhom terdiri dari 16 subbagian berisi 205 untaian syair penghormatan, puji-pujian akan keteladanan ahlaq mulia Nabi SAW, dengan olahan rima akhir berbunyi nun.
b) Apakah Al Barzanji itu dilarang (Haram) untuk dilakukan dan Bagaimana Hukum dasarnya Al Barzanji?
Mengenai hal ini erat kaitannya pula dengan pro-kontra Al Barjanji? Pihak yang pro menganggap pembacaan Al Barzanji adalah refleksi kecintaan umat terhadap figur Nabi, pemimpin agamanya sekaligus untuk senantiasa mengingatkan kita supaya meneladani sifat-sifat luhur Nabi Muhammad SAW. Kecintaan pada Nabi berarti juga kecintaan, ketaatan kepada Allah. Adapun pihak kontra memandang Barjanji hanyalah karya sastra yang walau mungkin mengambil inspirasi dari 2 sumber hukum haq Islam yakni Al Qur’an dan hadist.
Wajarlah bila kemudian pihak kontra menghukumi pembacaan Barjanji juga bacaan sejenis lainya semisal Diba’, Burdah, Simthuddurar itu Bid’ah atau mengada-ada dalam ibadah yang justru sangat jelas dilarang agama. Sebuah hadist Nabi riwayat Bukhari Muslim menyatakan, ”Barangsiapa menimbulkan sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kita yang bukan dari ajarannya maka tertolak.” (HR. Bukhari).
Berdasarkan kemanfaatan maka Al barzanji itu boleh dilakukan walaupun termasuk bid’ah ( bid’ah hasanah ) Nabi saw memperbolehkan berbuat Bid’ah hasanah. Nabi saw memperbolehkan kita melakukan Bid’ah hasanah selama hal itu baik dan tidak menentang syariah, sebagaimana sabda beliau saw :
"Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yang buruk dalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya dan tak dikurangkan sedikitpun dari dosanya" (Shahih Muslim hadits no.1017, demikian pula diriwayatkan pada Shahih Ibn Khuzaimah, Sunan Baihaqi Alkubra, Sunan Addarimiy, Shahih Ibn Hibban dan banyak lagi).
Dan keterangan lain dari ulama :
1. Al Hafidh Al Muhaddits Al Imam Muhammad bin Idris Assyafii rahimahullah (Imam Syafii)
Berkata Imam Syafii bahwa Bid’ah terbagi dua, yaitu Bid’ah mahmudah (terpuji) dan Bid’ah madzmumah (tercela), maka yang sejalan dengan sunnah maka ia terpuji, dan yang tidak selaras dengan sunnah adalah tercela, beliau berdalil dengan ucapan Umar bin Khattab ra mengenai shalat tarawih : "inilah sebaik baik Bid’ah". (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 86-87)
2. Al Imam Al Hafidh Muhammad bin Ahmad Al Qurtubiy rahimahullah
"Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafii), maka kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa makna hadits Nabi saw yang berbunyi : "seburuk buruk permasalahan adalah hal yang baru, dan semua Bid’ah adalah dhalalah" (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid atin dhalaalah), yang dimaksud adalah hal hal yang tidak sejalan dengan Alqur an dan Sunnah Rasul saw, atau perbuatan Sahabat radhiyallahu anhum, sungguh telah diperjelas mengenai hal ini oleh hadits lainnya : "Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yang buruk dalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya" (Shahih Muslim hadits no.1017) dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai Bid’ah yang baik dan Bid’ah yang sesat". (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 87)
Itulah dasar hukum yang bisa dipegang berkaitan Al Barzanji Yang telah dilakukan dari dulu sampai sekarang dari Para Ulama dan para Muhaddist terdahulu, Maka bila muncul pemahaman di akhir zaman yang bertentangan dengan pemahaman para Muhaddits maka mestilah kita berhati hati darimanakah ilmu mereka, berdasarkan apa pemahaman mereka, atau seorang yang disebut imam padahal ia tak mencapai derajat hafidh atau muhaddits, atau hanya ucapan orang yang tak punya sanad, hanya menukil menukil hadits dan mentakwilkan semaunya tanpa memperdulikan fatwa fatwa para Imam.
0 comments:
Catat Ulasan
Assalamu'alaikum wbt dan salam sejahtera. Selamat membaca.