"Education aims at independence of judgement. Propaganda offers ready-made opinion for the unthinking herd."
THEMALAYPRESS - FIKIR DENGAN KRITIS | TERUS MELANGKAH LEBIH JAUH.

Assalamu'alaikum wbt dan salam sejahtera. Terima kasih kepada para pembaca yang masih setia mengikuti blog ini!
~ MOHAB (Blog layout versi 1 September 2014 - 17.07.2014 - 19 Ramadhan 1435)

Khamis, Julai 09, 2009

Manuskrip Hikayat Merong Mahawangsa

Hikayat Merong Mahawangsa : A review by Sejarah Melayu Online

Sesuai bagi sesiapa yang berminat untuk mengetahui serba ringkas mengenai Hikayat Merong Mahawangsa yang sedang diguna pakai oleh sejarawan dunia, yang selesa dengan kisah tok nenek raja-raja Ma-la-yu berasal dari Rom tetapi beragama hindu-buddha.


Kata Kunci TMP: Siam itu Malayu Islam dan Thai itu Buddha.

Apa yang tuan-tuan akan baca dibawah ini adalah sebuah cerita hikayat dan bukan teks undang-undang seperti Undang-undang Kedah. Sila lihat pada dua analisis yang telah dilakukan oleh Firdausi(2007) iaitu asal-usul Merong Mahawangsa dari Dynasti Tang dan yang keduanya analisis Salleh (1998) yang mengatakan Merong Mahawangsa dari Raja Rom.

Fikirkanlah yang mana satu paling logik yang sesuai dengan kita sebagai umat Islam dan juga lihat tahun kedatangan Islam di No-San-Tara berdasarkan UUK serta bukti artifak yang telah ditemui di Belitung dalam entri Made in China.

Renungkan juga tarikh kedatangan rombongan Panglima Saad Ibni Waqas ke China 650 Masihi yang mengislamkan Maharaja Sai Tee Sung (versi original) dan hubungkait Yaman dengan Islamnya Raja Phra Ong Mahawangsa (yang agak terkemudian) yang telah dihidangkan dalam versi baharu hikayat Merong Mahawangsa tersebut. Untuk pengetahuan pembaca, nama Merong Maha-Wang-Ser juga tidak melambangkan nama yang berasaskan Hindu atau Buddha.

Seterusnya, fikirkan juga asal nama Sultan Muzafar Syah yang pada perkiraannya, tidak melambangkan nama Arab malah merujuk kepada istilah Parsi. Yang menghairankan ialah istilah ibni yang diambil kira tetapi tidak pada nama keseluruhannya. Persoalannya, bagaimana seorang Sultan yang di islamkan oleh Syeikh Abdullah Yamani seorang Arab dari Baghdad tidak semena-mena menggunakan istilah Parsi dalam gelarannya?

Kemudiannya lagi, jika betullah raja-raja kita ini berasal dari dari Rom mengapa tidak dipakai sahaja nama Gaius Julius Caesar Augustus Germanicus Merong Maha Caligula yang memang sah berketurunan malah berperangai seperti Sultan Firaun bahkan lebih dahsyat dari itu ? (tapi kalau mengikut filem dan cerita-cerita Malayu jaman dahulu, memang raja-raja Malayu ini digambarkan zalim serupa Caligula sila lihat filem 'explicit' Caligula is a 1979 film directed by Tinto Brass - a garbage and parental guidance needed!)

Walaubagaimanapun, yang pasti mengikut cerita hikayat ini (yang disuruh bakar oleh Thai pada 1821), selepas di buka negeri Kedah, disuruh buka pula negeri Siam, Perak dan Patani oleh Merong Maha-Wang-Ser kepada keturunannya. Maka jelas Merong Mahawangsa ini adalah Raja Siam-Malayu Islam yang menjadi induk kepada Raja-raja Malayu berserta jajahannya di Kedah, Siam, Patani dan Perak.

*Beza antara kedua-dua review tersebut adalah lebih kurang 10 tahun. Jadi silalah tapis berdasarkan akal dan hati budi seorang Islam yang beriman.

1. Tentang Manuskrip

Manuskrip Hikayat Merong Mahawangsa berhubungan erat dengan keberadaan negeri Kedah karena dalam hikayat tersebut dituliskan sejarah tentang berdirinya Kesultanan Melayu Kedah. Data dari berbagai sumber menyebutkan bahwa Hikayat Merong Mahawangsa merupakan sebuah hasil penulisan sejarah tradisional yang menceritakan asal-usul keturunan raja-raja Kedah (Salleh, 1998; Yusof, 2008; wikipedia.org., 2008). Kendati demikian, tidak sedikit sejarawan yang kecewa setelah mencoba menelaah elemen-elemen sejarah dalam hikayat itu. Penyebabnya tak lain karena dalam hikayat itu, bertaburan mitos-mitos dan kisah-kisah fiktif, sedangkan aspek sejarahnya sangat sedikit. Mengutip pendapat Ding Cho Ming dalam lawatannya ke Melayuonline.com, mengemukakan bahwa beberapa sejarawan mengatakan hikayat itu tidak memiliki muatan sejarah, kecuali secuil saja. Terlebih lagi, nuansa fiksi di dalamnya mengaburkan nilai sejarah sehingga dianggap sebagai karya yang “campur aduk”.

Salleh (1998) mengatakan bahwa manuskrip hikayat ini merupakan sebuah karya bergenre sastra sejarah atau lebih tepatnya karya sejarah beraroma fiksi. Penulisan kesusatraan di jaman itu memang didominasi oleh genre sastra sejarah, seperti halnya Hikayat Aceh, Hikayat Raja Pasai, Misa Melayu, Hikayat Patani, dan sebagainya, yang sebagian besar memfokuskan topiknya pada asal-usul kerajaan, wilayah, ataupun keturunan raja-raja. Hikayat-hikayat di atas pada dasarnya memiliki ciri-ciri dan unsur-unsur yang sama, sesuai dengan tradisi penulisan yang disepakati di seluruh Nusantara dan mematuhi konvensi kusastraan serta prinsip-prinsip penulisan sejarah tradisional Melayu di jamannya.

Banyaknya karya sastra yang memiliki unsur-unsur yang sama di jaman itu membuat beberapa sarjana Eropa seperti Winstedt, Bottoms, Crawfurd dan pakar lain yang konsen mengkaji manuskrip Melayu meremehkan karya ini, dan menganggapnya sebagai karya yang tidak orisinil alias karya tiruan belaka. Pandangan itu diperkuat dengan bukti bahwa kandungan isi dalam hikayat ini ternyata tidak murni bernuansa sejarah, tetapi juga banyak dijejali oleh mitos-mitos yang berkembang pada jaman itu. Dalam hikayat tersebut dikisahkan tentang keberadaan Raja Sulaiman alias Nabi Sulaiman a.s. yang mampu berbicara dengan binatang. Keberadaan Nabi Sulaiman di jaman itu sudah tentu merupakan hal yang tidak logis mengingat beliau sudah wafat jauh sebelumnya. Bagi penulis hikayat ini, peristiwa sejarah boleh jadi melenceng dari konteks yang sesungguhnya, namun pesan yang menjadi tujuan cerita yaitu asal-usul keturunan raja-raja Kedah, sampai kepada pembaca. Terlepas dari kebenaran isi cerita, hikayat yang termaktub dalam manuskrip usang ini sesungguhnya merupakan refleksi sang penulis yang berupaya mendokumentasi peristiwa kehidupan di zaman itu dengan membuat cerita berlatar sejarah menurut versinya sendiri (Salleh, 1998).

Dalam diskusi bulanan bertajuk “The Role of ICT in Preserving and Disseminating Indigenous Knowledge” (09/08/2008), Ding Choo Ming, narasumber dan pakar yang konsen mengkaji naskah-naskah kuno mengemukakan perspektif yang berbeda. Ding Cho Ming tidak meremehkan karya itu, namun justru menelaahnya dari sudut pandang yang lain. Ia menyatakan bahwa kita tidak perlu mengkaji manuskrip dari aspek sejarah maupun sastra, ataupun menjustifikasinya sebagai karya tiruan. Hal itu disebabkan karya-karya pada jaman dahulu tidak memiliki standar dan kaidah penulisan kesusastraan serta tidak memiliki muatan sejarah kecuali sedikit saja. Pada waktu itu, berbagai hikayat memang sengaja diceritakan kepada khalayak ramai sebagai bagian dari tradisi lisan yang secara terus menerus perlu dilestarikan. Saat itu sangat sedikit orang yang bisa membaca dan menulis, sehingga cerita-cerita hikayat perlu disampaikan melalui tradisi lisan. Sebab itulah, setiap manuskrip pada akhirnya memiliki banyak versi, karena banyaknya pengisah yang terus memperbarui hikayat itu. Lebih jauh lagi, ia memaparkan bahwa hal-hal yang dapat dianalisis dari manuskrip tersebut ialah cerminan alam pemikiran dan cara hidup masyarakat di jaman itu, sehingga bila mengkajinya melalui pisau analisis sejarah maupun sastra justru tidak akan mendapatkan apa-apa.

Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan hikayat ini secara eksplisit termaktub jelas dalam mukaddimah di paragraf kedua. Dijelaskan dalam mukaddimah tersebut, raja menginginkan supaya asal-usul keturunannya diketahui oleh orang-orang setelahnya melalui penggambaran yang menakjubkan sehingga mampu memperkokoh kekuasaannya dan keheranan rakyat terhadapnya dengan menggunakan unsur mitos, legenda, serta asal-usul lain sesuai dengan kepercayaan masyarakat di jaman itu (Salleh, 1998: viii). Pada hakekatnya, hampir semua hikayat ditulis dan disebarkan melalui tradisi lisan sesuai dengan tujuan di atas.

Secara implisit, hikayat ini memiliki tujuan lain yang lebih khusus, yaitu dibuat untuk dijadikan dokumen yang mampu mengabsahkan hak dan kuasa raja atas wilayah yang diperintahnya. Dalam konteks ini, Hikayat Merong Mahawangsa sengaja dibuat untuk menafikan hak Kerajaan Siam atas Negeri Kedah (Salleh, 1998, Firdausi, 2007; Yusof, 2008).

Tahun Penulisan

Menurut Winstedt (dalam Salleh 1998: viii) hikayat ini ditulis sekitar tahun 1612 M. Namun, beberapa sejarawan Kedah meragukan asumsi ini karena pada tahun-tahun itu tradisi kepenulisan belum berkembang. Tradisi penulisan baru berkembang pesat pada abad ke-17. Para sejarawan Kedah meyakini bahwa manuskrip ini ditulis pada tahun yang sama dengan tahun pembakaran manuskrip tersebut, yaitu 1821 M. Keyakinan itu mengacu pada peristiwa penyerbuan tentara Siam yang berujung pada pembakaran manuskrip tersebut serta beberapa manuskrip Melayu lainya. Menurut Firdausi (2007) hal itu dibuktikan secara logis bahwa riwayat penyerbuan dan pembakaran manuskrip tersebut dikarenakan hikayat itu mendakwa Kerajaan Kedah-lah yang menggagas BenuaSiam sehingga memancing amarah mereka.

Merujuk pada analisis yang dilakukan Salleh (1998), ia berpendapat hikayat itu ditulis sekitar tahun 1800an. Sulit untuk memperkirakan tarikh penulisannya secara tepat. Kendati penulisan di negeri Kedah telah berkembang sejak tahun 1625-1784 M, ia meyakini hikayat ini ditulis sekitar awal tahun 1800-1820 M. Pada masa itu, sebagian tanah Melayu telah dikuasai oleh Inggris dan salah seorang kompeni Inggris, James Low, pernah meminta dokumen yang dapat menyangkal hak Siam atas negeri Kedah. Saat itu, dia menerima Hikayat Merong Mahawangsa, yang disalin secara khusus untuknya, dan salinan aslinya disimpan oleh sultan. Menurut James Low (dalam Salleh, 1998: x) pihak Siam tidak senang dengan kisah yang menceritakan bahwa raja-rajaSiam merupakan keturunan dari raja-raja Kedah. Disinyalir, pembakaran itu merupakan propaganda musuh dalam rangka memutarbalikkan sejarah yang kurang sesuai dengan keinginan mereka. Begitu bukti sejarah itu lenyap, maka dapat digantikan dengan sejarah baru yang ingin mereka buat. Kala itu Siam menjadi duri dalam daging bagi negeri Kedah, sehingga kemungkinan besar pengarang hikayat ini menggunakan peluang untuk menjatuhkan citra Siam dan menafikan hak Siam atas negeri Kedah.

Dalam pandangan Salleh (1998), sebuah karya besar yang sangat berpengaruh tidak mungkin diselesaikan ketika sebuah negeri berada dalam ancaman. Tentunya, pengarang telah menggunakan waktu untuk menyusun alasan-alasan, strategi, serta jalan cerita yang dapat memberi pengaruh besar bagi pandangan masyarakat kala itu. Oleh sebab itu, ia berkesimpulan bahwa penulisan hikayat ini jauh lebih awal dari peristiwa penyerbuan dan pembakaran itu.

Versi-versi Manuskrip Hikayat Merong Mahawangsa

Dalam lawatannya ke melayuonline.com (09/08/2008), Ding Cho Ming, sejarahwan Malaysia menganalisis bahwa akibat pembakaran manuskrip ini, maka muncullah salinan-salinan naskahnya yang ditulis oleh banyak orang menurut kepentingan dan tujuan mereka sendiri. Ada yang menyalin menurut salinan aslinya plus sedikit tambahan, namun ada pula yang menuliskan kembali dengan merujuk pada isi cerita dari hikayat itu, tetapi menampilkan naskahnya dalam bentuk cerita mitos dan tambahan kisah lainnya.

Lebih lanjut, Ding Cho Ming menjelaskan, terdapat beberapa hal yang mengakibatkan munculnya banyak versi dari manuskrip ini. Pertama, beragamnya versi ini tak lain karena tidak diketahuinya penulis asli hikayat ini. Perlu diketahui, pada masa itu hak paten atas sebuah karya belum ada. Sistem yang berlaku pada masa itu menghendaki karya sastra menjadi hak publik dan bukan hak milik si pengarang. Kedua, di masa silam terdapat profesi penutur cerita yang bekerja untuk menghibur khalayak ramai maupun menyelipkan nasehat dalam setiap kisah hikayat yang disampaikannya. Penutur cerita ini berkontribusi terhadap munculnya kisah hikayat ini dalam versi yang baru. Ketiga, minimnya orang yang dapat membaca dan menulis juga semakin memperbanyak penutur cerita. Dampaknya, hikayat itu semakin variatif, sehingga menjadi bertambah panjang. Keempat, sama halnya dengan penutur cerita, para penyalin manuskrip juga memiliki kebiasaan yang sama. Mereka tidak hanya menyalin teks aslinya, namun juga mengubah dan menambahkan isi cerita di dalamnya. Kendati demikian, esensi cerita dalam naskah-naskah itu tidak jauh berbeda dengan versi aslinya, yaitu mengisahkan asal mula Kerajaan kedah dan asal-usul raja-rajanya.

Kurang lebih terdapat delapan versi salinan manuskrip ini, yang disadur dari Salleh (1998). Di antara kedelapan manuskrip tersebut, hanya manuskrip Hikayat Merong Mahawangsa versi R.J. Wilkinson yang banyak beredar di masyarakat maupun yang disimpan di perpustakaan-perpustakaan nasional di berbagai negara. Versi-versi itu ialah:

  1. Hikayat Merong Mahawangsa versi W. Maxwell yang terkenal dengan Ms. Maxwell 16. Naskah ini tersimpan di Perpustakaan Royal Asiatic Society, London. Naskah ini disalin oleh Muhammad Nuruddin bin Ahmad Rajti pada 2 September 1889 M di Pulau Pinang dengan panjang 207 halaman. Di halaman 207 terdapat keterangan tertentu.
  2. Hikayat Merong Mahawangsa versi Ms. Maxwell 21 yang merupakan koleksi pertama milik W. Maxwell. Naskah ini ditulis sepanjang 149 halaman tanpa penomoran angka di setiap halamannya, dan telah diserahkan ke Perpustakaan Royal Asiatic Society, London. Di dalamnya terdapat tanda tangan Maxwell dan catatan Singapore, 1884 M.
  3. Hikayat Merong Mahawangsa atau Sejarah Negeri Kedah. Naskah ini ditulis di Kampung Sungai Kallang, Singapura. Di dalamnya tercatat tahun 1876 M. Salinan manuskrip ini disimpan di Perpustakaan Bodleian, Universiti Oxford, England.
  4. Sjadjarah Negeri Kedah atau Hikayat Merong Mahawangsa, yang dikenal dengan versi von de Wall, No. 201. Naskah salinan ini ditemukan oleh von de Wal ketika ia di Riau. Sayangnya, naskah yang konon disimpan di Perpustakaan Museum Pusat, Jakarta, Indonesia, ini dinyatakan hilang. Tidak banyak data tentang versi ini, ditambah lagi hilangnya manuskrip ini semakin menyempurnakan kekosongan datanya.
  5. Hikayat Merong Mahawangsa versi R.J Wilkinson, dicetak batu dalam tulisan Arab-Melayu berukuran fulskap oleh Kim Sik Hian Press, No. 78, Penang Street. Versi ini disalin pada 2 Rajab 1316 H bertepatan dengan 16 November 1898 M oleh Muhammad Yusuf bin Nasruddin di Pulau Pinang.
  6. Hikayat Merong Mahawangsa versi Sturrock yang diterbitkan dalam Journal of The Royal Asiatic Society, Straits Branch (JRASSB) No. 72, Mei 1916 M di halaman 37-123, yang dicetak menggunakan tulisan Rumi (tulisan romawi). Tidak banyak yang bisa dijelaskan mengenai versi ini, karena minimnya data yang diperoleh.
  7. Hikayat Merong Mahawangsa versi Logan yang merupakan koleksi J.R Logan, kini tersimpan di Perpustakaan Nasional Singapura dengan nomor arsip qMR 8999, 2302 HR. tidak ada keterangan mengenai siapa penyalin manuskrip versi ini dan di mana disalin. Naskah ini ditulis dengan tinta hitam di atas kertas laid Inggris, berukuran 29 cm x 18 cm, dengan tulisan romawi yang rapi dan cantik. Kemungkinan penyalin manuskrip ini adalah seorang yang ahli menulis. Kendati terlihat rapi, kadang-kadang tulisannya berubah kasar dan tidak rapi karena begitu panjangnya karya ini. Di bagian atas halaman tertulis J.R Logan, pemilik manuskrip.
  8. Hikayat Merong Mahawangsa koleksi Thomson. Menurut J.T. Thomson, ia memperoleh manuskrip ini di Pulau Pinang. Naskah ini muncul tahun 1984 yang disimpan oleh cicitnya di London. Namun, tidak banyak diketahui perihal manuskrip ini, karena belum terbuka untuk umum.

Di antara delapan versi di atas, terdapat beberapa manuskrip yang dekat dengan teks aslinya. Naskah manuskrip versi Wilkinson merupakan naskah yang dianggap dekat dengan versi aslinya, serta yang paling banyak dirujuk. Selain itu, versi ini memiliki banyak persamaan dengan ketujuh versi lainnya, dan merupakan naskah yang tidak panjang. Naskah-naskah lain cenderung bertele-tele akibat banyaknya tambahan cerita di dalamnya. Konon, versi Ms. Maxwell isi ceritanya lebih bertele-tele alias lebih panjang (Salleh, 1998) . Beberapa perbedaan yang ditemukan mencakup:

  1. Nama daerah
  2. Ejaan tulisan Arab Melayu
  3. Perbedaan nama tokoh dan tempat

Berikut ini adalah contoh beberapa perbedaan antara versi R.J. Wilkinson dengan MS. Maxwell 16 (Firdausi, 2007):

Versi R.J. Wilkinson:

...Sebermula maka tersebutlah perkataan Pulau Langkapuri itu selama peninggal perang Seri Rama dan Andunan jadi sunyilah pulai itu tiada siapa siapa duduk...

Versi Ms Maxwell 16:

... Alkisah maka tersebutlah perkataan segala perintahnya Pulau Langkapuri itu selamanya peninggalan pada tatkala perang Seri Rama dengan Handuman itu, jadi sunyilah Pulau Langkapuri itu, maka tiadalah siapa yang mendiami pulau itu.

Contoh di atas hanyalah secuil perbedaan yang dapat diperbandingkan, dilihat dari kandungan isi atau teks naskahnya. Perbedaan lainnya, di luar isi manuskrip ialah berkaitan dengan kuantitas halaman serta banyaknya sejarawan dan peneliti yang mengkaji versi-versi tersebut. Di antara keempat versi di atas, versi R.J. Wilkinson lebih banyak dikaji. Kemungkinan besar, hal ini disebabkan versi yang satu ini memang sengaja dicetak untuk kepentingan pendidikan di sekolah-sekolah di Malaysia, dan hanya versi ini yang tersebar dan disimpan oleh beberapa kalangan masyarakat. Selain itu, versi R.J. Wilkinson ini merupakan versi berhalaman terpendek dibandingkan dengan versi-versi lainnya (Salleh, 1991; Firdausi, 2007; Yusof, 2008). Salah satu pengkaji atau peneliti manuskrip Hikayat Merong Mahawangsa versi ini serta memperkenalkan kepada khalayak ramai ialah Profesor Siti Hawa Haji Salleh dari University Kebangsaan Malaysia.

Aspek Kebahasaan

Hikayat Merong Mahawangsa dikategorikan ke dalam prosa berbentuk cerita atau sejarah yang diberi judul “Hikayat”. Manuskrip Melayu ini pada hakekatnya turut menyibak berbagai peristiwa yang melatar belakangi penulisan ini, di antaranya aspek sosial-budaya serta bahasa. Manuskrip ini menggunakan tulisan huruf Arab Melayu yang lazim dipakai pada masa itu. Hal ini mengindikasikan bahwa pada masa itu pengaruh Islam dan bahasa Arab telah banyak berkembang (SR, 2007).

Setelah Raja Merong Mahawangsa alias Raja Kedah I masuk Islam, pengaruh agama Islam menjadi lebih besar lagi menyelinap ke segenap lini kehidupan rakyat Kedah (Salleh, 1998). Imbas dari integrasi agama Islam ke dalam budaya negeri Kedah mempengaruhi penulisan pada jaman itu. Maka, tidak heran jika penulisan-penulisan manuskrip-manuskrip pada abad itu menggunakan aksara Arab-Melayu (SR, 2007).

Selain aksara Arab-Melayu, beberapa istilah yang digunakan dalam manuskrip juga memakai nama yang memuat simbol-simbol Islam. Misalnya, pemakaian gelar Sultan pada nama raja-raja Kedah di masa pemerintahan Islam.Penggunaan kata sultan untuk sebutan raja juga merupakan pengaruh dari bahasa Arab.

Terdapat juga aspek bahasa dan budaya Arab yang berpengaruh pada saat penulisan manuskrip ini. Misalnya ialah penggunaan kata ibnu pada teks ”...Sultan Mu‘azzam Shah ibnu Sultan Muzalfal Shah...”. Istilah ibnu yang dipakai di dalam teks manuskrip ini sesungguhnya tidak saja mengadopsi literasi Arab, tetapi sekaligus mengejawantahkan tradisi Arab yang biasa menempelkan nama orang tua di belakang nama seorang anak.

Masih banyak pengaruh bahasa Arab dalam manuskrip ini. Beberapa teks Arab tampak berhamburan dalam setiap teks kalimat-kalimatnya. Ada istilah
‘alim yang dalam bahasa Melayu berarti orang berilmu, ada juga istilahmuta‘alim yang artinya orang yang sedang mencari ilmu. Tak hanya itu, terdapat juga istilah seperti fakir, hadzirdan kitab. Istilah-istilah ini nampaknya sudah berasimilasi pada budaya masyarakat pada jaman itu, seperti halnya istilah fakir yang lazim menggantikan kata hamba atau sahaya.

Asal-usul Merong Mahawangsa

Analisis bahasa terhadap manuskrip hikayat ini secara tidak langsung turut menggiring kita untuk menganalisis nama Merong Mahawangsa itu sendiri. Nama ”Merong Mahawangsa” sejatinya tidak lazim dipakai di tanah Melayu (Firdausi, 2007). Oleh sebab itu, perlu analisis dan bukti yang kuat dalam mencari siapa sesungguhnya Merong Mahawangsa.

Menurut analisis Firdausi (2007) nama Merong Mahawangsa sebenarnya berasal dari bahasa Siam (bukan bahasa Thai), yang dalam bahasa Melayu berarti Naga pembesar bangsa Harimau. Sebelum kerajaan Siam berdiri pada tahun 1350 (1350-1767 M), pemerintah Ayuthia ini berasal dari Kesultanan Kedah, di mana keturunan mereka tiba dari Cina dan membuka kota di Kuala Muda. Ketua rombongan ini berasal dari Cina dan pengikutnya diketuai oleh Putera Waran Wong Ser (Mahawangsa), cucu Maharaja Cina bernama Sai Tee Sung dari Dinasti Tang. Selain itu, nama-nama tempat di Kedah perlu merujuk pada bahasa Siam. Nama raja Kedah yang terawal juga berasal dari bahasa Siam. Bahkan beberapa masyarakat Melayu yang bertutur dalam bahasa Siam disinyalir masih ada di beberapa tempat di Kedah, Perlis, dan Kelantan. Sejumlah peneliti mengatakan mereka masuk dalam kelompok etnik Sam Sam.

Analisis Salleh (1998) sedikit memiliki perbedaan. Hasil telaah yang dilakukannya membuktikan bahwa Raja Merong Mahawangsa merupakan nenek moyang raja-raja Kedah yang berasal dari keluarga Raja Rom. Nama Merong Mahawangsa yang tidak lazim di Kedah dijelaskan melalui pengaruh budaya yang melatarbelakangi nama-nama orang di jaman itu. Pada masa itu, pengaruh Hindu-Buddha dan budaya dari India masih kuat, sehingga nama, kepercayaan, serta segala macam kebudayaan kala itu masih sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur budaya dari agama Hindu-Buddha. Oleh sebab itu, nama Merong Mahawangsa bukanlah hal yang aneh pada masanya karena banyak nama orang yang dipengaruhi oleh agama Hindu-Buddha.

Pengaruh budaya, dengan demikian menjadi sumber yang dapat dijadikan rujukan dan sandaran analisis yang lebih tepat. Contoh lain yang lebih konkret dapat dilihat ketika anak keturunan Raja Merong Mahawangsa dari generasi ketujuh yang bernama Raja Phra Ong Mahawangsa yang masuk Islam dan berganti nama menjadi Muzalfal Syah. Artinya, pengaruh agama Islam membuat raja mengganti namanya menjadi nama yang bernuansa Islami. Nama-nama Islam itu tidak menjadikan yang bersangkutan berasal dari tanah Arab, melainkan hanya pengaruh budaya dari agamanya saja yang membuat seseorang mengidentikkan dirinya dengan identitas agama barunya. Dengan demikian, nama Merong Mahawangsa merupakan hasil dari pengaruh agama Hindu-Buddha yang berlaku pada masa itu.

2. Isi

Manuskrip Hikayat Merong Mahawangsa menceritakan awal mula sejarah berdirinya negeri Kedah mulai dari dibukanya negeri tersebut oleh Raja Merong Mahawangsa. Garis besar isi yang dipaparkan di sini merujuk pada manuskrip versi Wilkinson. Beberapa hal yang diungkap dalam manuskrip ini ialah:

  1. Asal-usul keturunan raja
  2. Pembukaan negeri
  3. Silsilah raja-raja mulai raja pertama hingga raja terakhir
  4. Proses pengislaman raja dan seluruh negeri
  5. Situasi pada masa penulisan

Para tokoh yang disebut dalam manuskrip ini di antaranya Raja Merong Mahawangsa, Raja Rom, Burung Geroda, Nabi Sulaiman a.s., Raja Jin Harman Syah, Raja Kelinggi, Raja Syahbandar, Gajah yang bernama Gemala Johari, Syeikh Abdullah Yamani, dan sebagainya. Masing-masing tokoh memiliki peran tersendiri, yang turut memberi ”cita rasa” dalam karya bernuansa fiksi ini.

Petikan naskah di bab pertama dalam Hikayat Merong Mahawangsa ialah:

Adalah pada suatu masa zaman Sultan Muazzam Shah ibnu Sultan Muzalfal Shah yang maha mulia kerajaan negeri Kedah, pada suatu hari baginda keluar ke penghadapan, dihadapi oleh segala menteri, hulubalang serta ‘alim muta‘alim, maka fakir pun hadirlah mengadap baginda, penuh sesak di penghadapan itu membicarakan negeri dan mengaji kitab. Setelah itu maka titah baginda yang maha mulia, junjungkan ke atas jemala fakir, demikian titah yang maha mulia: ‘Bahawa hamba pinta perbuatkan hikayat pada tuan, peri peraturan segala raja-raja Melayu dengan istiadatnya sekali, supaya boleh diketahui oleh segala anak cucu kita yang kemudian daripada kita ini, serta dikurniai dengan sejarahnya” (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 3).

Manuskrip ini terbagi ke dalam 5 bab. Berikut ini adalah ringkasan yang termuat pada tiap bab.

Bab I

Bab I dalam hikayat ini menceritakan tentang awal tujuan dibuatnya hikayat ini, yang secara eksplisit termuat dalam cuplikan paragraf di atas. Selanjutnya, hikayat ini berkisah tentang perjodohan dua anak Raja dari benua yang berbeda. Alkisah, Raja Cina dengan Raja Rom hendak menjodohkan anak-anak mereka. Rencana itu diketahui oleh Burung Geroda, seekor burung sakti anak cucu Maharaja Dewata yang tak ingin melihat dua manusia elok itu bersatu, dan beranggapan bahwa mereka tidak semestinya berjodoh disebabkan oleh jauhnya jarak kedua kerajaan itu. Berikut petikan naskahnya:

”Ya Nabi Allah, hamba dengar warta raja Rom ada menaruh seorang anak laki-laki dan raja Benua China ada menaruh seorang anak perempuan. Maka sekarang raja Rom itu hendak meminang anak raja Benua China. Konon akan rupakedua anak raja itu terlalu amat eloknya, tiadalah lagi bandingnya akan rupa keduanya itu, dan kedudukan negeri itu terlalulah jauh, pada fikiran hamba bukanlah jodo pertemuannya....” (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 5).

Burung Geroda itu berupaya menggagalkan rencana tersebut dengan menculik tuan putri, anak raja Cina, setelah sebelumnya menghadap Nabi Sulaiman. Tuan putri yang diculik disembunyikan di Pulai Langkapuri. Dalam hikayat itu dikisahkan:

...Setelah dilihat oleh burung geroda tuan puteri itu duduk di dalam taman memungut segala bunga-bungaan dan buah-buahan, lalu ia pun terbanglah pergi menuju kepada tuan puteri itu ke dalam taman. Serta sampai lalu disambarnya tuan puteri itu dengan mulutnya serta digenggam dengan kukunya yang kanan. Maka mak inang tuan puteri serta dengan kundangnya seorang budak perempuan, maka keduanya itu pun disambar dengan kukunya kaki kiri digenggamnya lalu dibawa terbang mereka itu menuju ke Pulau Langkapuri, halanya itu ke sebelah laut selatan....(dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 6).

Demi menuntaskan tujuannya, Burung Geroda juga memporakporandakan rombongan kapal Raja Merong Mahawangsa, raja paling sakti dibandingkan raja-raja lainnya, yang hendak mengantarkan anak Raja Rom untuk dipertemukan kepada tuan putri, anak Raja Cina. sedangkan anak raja Rom diserang hingga seluruh awak kapalnya jatuh ke laut.

Hatta, tiada berapa lamanya berlayar, adalah kira-kira sehari semalam lagi hendak ke Pulau Langkapuri itu, maka terlihatlah kepada burung geroda angkatan pelayaran anak raja itu, lalu dinantikan hari malam. Setelah itu bahtera Raja Merong Mahawangsa singgah kepada suatu pulau mengambil air kayu. Maka geroda pun datanglah seperti ribut taufan yang teramat besar, menyambar dan memukul dengan sayapnya dan menendang kakinya kepada bahtera anak raja Rom itu hingga habislah karam tenggelam segala kapal dan keci itu, orang pun banyaklah mati daripada yang hidup, bertaburan sepanjang laut itu....(dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 13).

Namun, ternyata anak raja Rom selamat dan terdampar di Pulau Langkapuri.

...Maka tatkala itu anak raja Rom pun berpegangan pada suatu papan di dalam laut itu dengan seorang dirinya. Hanya habislah binasa segala kapal dan keci serta sekalian bahtera anak raja Rom itu, pada sangka hati burung geroda itu matilah sudah anak raja Rom itu. Maka ia pun kembalilah ke Pulau Langkapuri (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 13-14).

Setelah terdampar, ia diselamatkan oleh tuan putri. Hari demi hari dirawatnya anak raja Rom itu hingga badannya pulih kembali. Mulailah cinta kasih mereka bersemai.

Sementara itu, Burung Geroda tengah diminta untuk membuktikan ucapannya kepada Nabi Sulaiman tentang kabar kematian anak raja Rom. Maka, dibawanya peti yang dikiranya hanya berisi tuan putri beserta dua inangnya untuk dihadapkan kepada Nabi Sulaiman. Burung Geroda tidak mengetahui bahwa anak raja Rom itu juga turut masuk ke dalam peti. Ketika peti terbuka, didapatinya 4 manusia, bukan 3 manusia seperti yang ia sangkakan. Seketika itu, bersabdalah Nabi Sulaiman: bahwa ada empat perkara yang tidak dapat dielakkan manusia, yaitu, (1) rejeki, (2), maut, (3) jodoh, (4) perceraian.

Akhir cerita, dua anak raja ini kemudian diantar oleh Raja Jin bernama Harman Syah, salah satu pengikut Nabi Sulaiman, kepada raja Benua Cina. Mereka kemudian dinikahkan oleh raja Benua Cina.

Bab II

Bab II dalam hikayat ini mengisahkan tentang pendirian Negeri Kedah oleh Raja Merong Mahawangsa, disusul dengan pembukaan tiga negeri di sekitar Kedah oleh anak keturunannya, yaitu Negeri Benua Siam, Negeri Perak, serta Negeri Patani. Raja Merong Mahawangsa dikisahkan memiliki seorang anak bernama Raja Merong Mahadipusat yang memiliki empat orang anak. Anak laki-laki pertama mendirikan Negeri Benua Siam, anak laki-laki kedua mendirikan Negeri Perak, dan anak ketiga, seorang perempuan, mendirikan Negeri Patani. Anak keempat (laki-laki) konon menggantikan Raja Merong Mahadipusat menjadi raja Kedah dan bergelar Raja Seri Mahawangsa. Terdapat pula cerita tentang Raja Bersiung alias Raja Ong Maha Perita Deria, anak keturunan Merong Mahawangsa atau Raja Kedah kelima yang gemar memakan darah hati manusia.

Ihwal pendirian Negeri Kedah termuat dalam teks:

Maka titah Raja Merong Mahawangsa kepada menteri Rom, ”Sudahlah beta rajakan anakanda ini. Maka sekarang akan negeri ini patutlah kita namakan sesuatu akan dia.” Maka sembah segala menteri, ”Patut sangat tuanku menamakan negeri ini, supaya tiada sesat daripada sebutannya.” Maka sembah pula menteri Rom, ”Bukanlah dengan kemudahan juga mendapat negeri ini, dengan tiada sukarnya; jikalau kepada namanya pun demikian jua.” Maka titah Raja Merong Mahawangsa, ”Jika demikian hendaklah kita namakan negeri ini negeri Kedah Zamin Turan sebutannya.” (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 34).

Mengenai pembukaan negeri-negeri di tanah seberang, Raja Merong Mahawangsa pernah berkata kepada anaknya, Raja Merong Mahapudisat, agar anak keturunannya kelak mengembangkan kekuasaan negeri itu dengan mendirikan kerajaan di wilayah-wilayah yang baru. Raja Merong Mahawangsa berkata:

...”Hai anakku Raja Merong Mahapudisat, jikalau anakku beroleh anak pada zaman ini, hendaklah anakku rajakan akan dia seorang sebelah utara barat laut, seorang sebelah selatan timur menenggara daripada negeri Kedah ini, dan seorang sebelah matahari naik antara timur laut. Maka di dalam negeri Kedah ini pun jangan sekali-kali anakku suruh tinggalkan, kerana zaman ini banyak sangat bumi yang hampa yang tiada orang diam-diami, baharu sangatlah menjadi tanah daratan, supaya termasyhur nama kita pada segala negeri. Jangan jadi sia-sia pekerjaan ayahanda yang sudah tua ini, terlangsung mari membuat negeri di tanah bumi ini.” (dalam Salleh. 1998: transliterasi hal 34-35).

Kisah itu kemudian berlanjut dengan merantaunya anak-anak Raja Merong Mahapudisat ke daerah-daerah baru dan mendirikan kerajaan baru di atasnya. Negeri Siam didirikan oleh anak Raja Merong Mahapudisat yang tertua. Berikut petikan kisahnya:

...Maka di situlah sekalian berbuat istana dengan kota parit serta dihimpunkan segala orang yang duduk bertaburan pecah-belah itu, maka disatukan sekaliannya. Maka menjadi besarlah. Maka dinamai negeri itu Siam Lancang tempat membuat kota istana itu. Maka datanglah orang berkhabarkan kepada Raja Merong Mahapudisat mengatakan sudahlah tetap anakanda baginda yang tua itu di atas takhta kerajaan negeri Benua Siam; mana yang tiada mahu menurut takluk Benua Siam itu dirosaklanggarkan kepada penghulu gergasi Phra Cesim, menjadi menurut katalah segala raja-raja negeri kecil-kecil, datanglah mengadap serta membawa ufti dan hadiah negerinya pada raja Benua Siam (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 38).

Demikian pula yang dilakukan anak kedua dari Raja Merong Mahadipusat, ia disuruh merantau ke arah selatan oleh Raja Merong Mahadipusat sesuai titah ayahnya, Raja Merong Mahawangsa, agar mencari tempat yang dapat dibangun kerajaan di atasnya. Tatkala sampai di dekat sungai besar yang airnya terus mengalir menuju ke laut dengan pemandangan pulau yang indah, anak kedua ini pun berhenti dan mengambil busur panahnya sembari berkata:

...”Hai Indera Sakti, jatuhlah engkau kepada bumi pulau tiga empat biji itu. Di mana engkau jatuh sekarang, disitulah aku perbuat negeri dan kota parit tempat aku diam.” Maka ditariknya busurnya itu serta memanahkan ke udara berdengung-dengung bunyinya seperti kumbang menyering bunga lakunya, hilang ghaib. Seketika datanglah jatuh pada suatu tempat pulau; dengan sebab itulah dinamakan Pulau Indera Sakti. Kepada tempat itulah diperbuat kota parit, dijadikan negeri dan disuruh akan membuat istana serta menghimpunkan segala orang yang duduk bertaburan pecah belah tiada berketahuan. Maka berhimpunlah segala orang itu, terlalu ramainya orang berbuat kota istana, jadilah sebuah negeri. Maka dinamai dengan nama negeri Perak, jasa anak panah itu matanya perak (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 39).

Akan halnya dengan Kerajaan Patani, kerajaan ini didirikan oleh anak perempuan Raja Merong Mahadipusat. Oleh Raja Merong Mahadipusat, anak perempuannya itu diberikan seekor gajah sakti bernama Gemala Johari dan sebilah keris sakti bernama Lela Mesani. Konon kisahnya, keris itu sangat ditakuti oleh musuhnya. Mata keris itu menyala-nyala, dan siapa pun tak akan berani menatapnya.

Rombongan raja perempuan itu berhenti di suatu tempat yang tanahnya rata, dekat dengan laut dan sungai besar yang bermuara ke laut. Di sinilah tempat didirikannya Kerajaan Patani oleh anak perempuan Raja Merong Mahadipusat.

Hatta, beberapa lamanya berjalan itu hampirlah hendak bertemu dengan laut sebelah sana, maka bertemu pula dengan suatu sungai besar terus ke laut jua. Maka berhentilah gajah Gemala Johari kepada tempat itu, tanahnya rata. Maka segala menteri hulubalang, rakyat sekalian pun berhentilah masing-masing membuat istana dan kota parit serta menghimpunkan sekalian orang yang ada pada segala jajahan yang dekat dan yang jauh, sekalian pun habis datang mengadap serta membawa persembahan akan raja perempuan itu. Setelah sudah diperbuat balai istana serta dengan kota paritnya, maka raja perempuan pun naiklah ke istana dan terbit ke balairung meletakkan keris itu ke hadapannya. Maka raja itu bersemayamlah. Setelah itu jadi berhimpunlah segala orang yang jauh mengadap, masing-masing dengan membawa persembahan dan hadiah. Adapun segala yang datang mengadap itu tiadalah sekali-kali memanggungkan kepalanya seperti ada orang yang menekankan kepada perasaannya, serta dengan takut ngerinya daripada kesaktian keris Lela Mesani itu serta dengan takut akan gajah Gemala Johari itu, ia tiada jauh daripada penghadapan itu (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 40-41).

Setelah itu maka bertambah-tambah ramai orang datang mengadap itu. Maka sembah menteri keempat, ”Patik ini mohonlah hendak kembali,” serta bertanya nama negeri itu. Maka titah raja perempuan, ”Baiklah, mamakku, patut sangat mamakku kembali mengadap paduka ayahanda baginda itu ke Kedah, sembahkan negeri ini Patani namanya, dengan sebab tuah keris Lela Mesani itu, jadi dinamakan negeri ini Patani.” (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 41).

Setelah raja Kedah kedua, Raja Merong Mahapudisat mangkat, beliau digantikan oleh anak keempatnya, Raja Seri Mahawangsa. Raja Seri Mahawangsa kemudian digantikan oleh anak laki-lakinya yang bernama Raja Seri Maha Inderawangsa yang beranakkan Raja Ong Maha Perita Deria. Raja Ong Maha Perita Deria inilah yang terkenal dengan sebutan Raja Bersiung. Konon kisahnya, pelabelan tersebut disebabkan kelakuannya yang tidak adil terhadap rakyatnya, suka menganiaya, serta membunuh satu orang setiap harinya untuk disantap darahnya. Raja Bersiung adalah sosok raja yang keras kepala. Ia tidak mau mentaati nasehat yang diberikan oleh menteri-menterinya. Perilakunya sangat jauh berbeda dari perangai raja-raja sebelumnya.

Hatta, antara itu tiada boleh silap sedikit jua pun sekalian rakyat, habislah kena tangkap rantai dipenjarakannya. Terlalulah kemasghulan di hati menteri keempat akan perangai baginda itu, terlalulah kahar akalnya, tiada menurut perangai raja yang dahulu-dahulu itu (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 50).

Namun, merunut pada asal-usul Raja Bersiung, pada dasarnya ia merupakan hasil perkawinan yang tidak disetujui karena perbedaan kelas dan status sosial. Aturan kerajaan menetapkan bahwa raja harus menikah dengan perempuan yang memiliki kelas yang sama. Ketika itu, ayahanda Raja Bersiung, Raja Seri Inderawangsa menentang aturan tersebut. Disinilah berlaku hukum karma bila raja menentang aturan itu, sehingga lahirlah anaknya yang memiliki perangai buruk dan memiliki siung. Gambaran Raja Bersiung itu dikisahkan dalam teksnya:

Hatta, pada suatu hari, raja tengah dihadap oleh orang sekalian, maka titahnya kepada seorang menteri, ”Hendaklah tuan hamba mari dekat beta, lihat gigi hamba ini, terlalu sakit antara gigi manis, keduanya itu baharu tumbuh pula, bakatnya sahaja baru jadi.” Maka dilihatnya oleh menteri, disembahnya, ”Siung, tuanku.” Maka titahnya pula, ”Pada fikiran rasa beta, tiada patut hendak tumbuh siung.” Ia berkata-kata itu sambil tertawa-tawa pula, ”Jika hendak tumbuh siung pun tentulah ada daripada mula jadi atau daripada masa sedang kecil dahulu.” (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 50).

Akan halnya dengan perilakunya yang suka menyantap darah manusia, berawal dari kegemarannya memakan tumis gulai lecek dari bayam. Kala itu, jari sang juru masak teriris oleh pisau pada saat membumbui sayur itu, dan darahnya sempat menetes ke dalam racikan tumisan yang dibuatnya. Namun, bukannya beraroma anyir darah, tumis gulai itu justru menjadi lebih lezat menurut selera Raja Bersiung. Maka, sejak itulah ia selalu meminta tumis gulai lecek berbumbu darah dengan mengorbankan satu orang manusia setiap harinya. Berikut deskripsi kisahnya:

...Maka tatkala itu gerau yang di dapur itu pun tengah memotong sayur bayam dengan gopohnya hendak diperbuat gulai lecek. Maka terlekalah matanya sedikit. Maka lalu tersayatlah hujung jarinya dengan pisau. Maka segeralah diambilnya kain, dibalut serta diikatnya, maka pada sangkanya tiadalah keluar darah itu. Setelah dibubuhnya rempah-rempah ke dalam sayur itu lalu dijerangkan ke atas api. Maka pada waktu ia tengah melecek sayur itu, maka tertitiklah darahnya setitik ke dalam sayur itu dengan dilihatnya. Maka ia hendak perbuat lain sayur pun tiada sempat kerana raja sudah datang dari mandi hendak santap. Maka dibubuhnyalah ke dalam hidangan dengan gopohnya, lalu diangkatnyalah hidangan itu dihantarkan ke hadapan raja (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 51).

Maka Raja Bersiung pun santaplah nasi itu, menuangkan gulai lecek dengan isi kuahnya sekali. Setelah sudah santap, maka Raja Bersiung pun terlalulah amat lazat citarasanya, terlebih daripada sediakala hingga habislah gulai di dalam belanga itu (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 51).

Usai bersantap, Raja Bersiung memanggil sang juru masak sembari mengacungkan pedang dan bertanya hal apakah yang menjadikan gulai lecek tersebut lebih lezat dari biasanya. Karena ketakutan, sang juru masak mengatakan hal yang sebenarnya terjadi. Sejak saat itulah, Raja Bersiung ini selalu meminta darah manusia untuk dicampurkan ke dalam masakannya.

Demi Raja Bersiung mendengar sembah perempuan itu, maka iapun menyarungkan pedangnya serta bertitah, ”Baiklah,” lalu berangkat keluar ke balairung bertitah, ”Mana penghulu biduanda sekalian? Bukanlah ada orang yang kita suruh bunuh sulakan itu pada hari ini? Ambil cawan itu, isikan darahnya, bawa ke mari kepada aku.”(dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 52).

Maka penghulu biduanda pun menyembah, lalu mengambil cawan pergi mendapatkan orang yang hendak dibunuh itu. Maka orang itu pun dikerjakan oranglah, darah itu diisinya ke dalam cawan lalu dibawa mengadap persembahkan kepada baginda Raja Bersiung itu. Maka diambilnya lalu dibawa langsung ke dapur menyuruh gerau itu membuat sayur lecek. Setelah pertengahan masak maka dihampiri oleh Raja Bersiung, sendirinya menuangkan darah itu ke dalam belanga sayur itu. Setelah masak, maka dihidanglah oleh gerau itu, dihantarkan ke hadapan Raja Bersiung. Maka Raja Bersiung pun santaplah. Maka terasa olehnya terlebih pula sedap daripada yang dahulu itu (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 52).

Maka keesokan harinya disuruh pula bunuh seorang, ambil darahnya serta dengan hatinya diperbuat gulai dan panggang dan darah itu diperbuat kuahnya. Maka apabila dimakannya, terlebih pula lazat citarasanya. Maka tiadalah dapat lagi ditinggalkan oleh Raja Bersiung itu daripada memakan hati darah orang jua. Jikalau tiada ada yang demikian tiadalah dapat ia santap nasi pada hari itu jikalau berapa banyak lauk sekalipun. Maka jadilah seorang raja terbunuh olehnya, sampai kepada habis orang yang tiada berdosa pun dan di luar kota pun sunyilah kerana sudah habis orangnya, tiadalah apa kiranya hanya hendak memakan hati darah manusia sahaja sehingga orang yang di dalam penjara itu pun habislah dibunuhnya. Maka masyhurlah kepada khalayak yang banyak hingga kepada negeri yang lain-lain. Maka terlalulah amat kemasyghulan segala rakyat bala tentera, datang dengan teriak tangis kepada segala menteri hulubalang mengatakan anaknya terbunuh, ada yang setengah mengatakan bapanya terbunuh. Demikian itulah habis mati sekalian orang dibunuhnya dimakan darahnya(dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 52-53).

Akibat perangai buruknya dan nasehat keempat menteri tidak diindahkannya, maka terjadilah pergolakan di dalam negeri. Kondisi tersebut terjadi akibat sabotase dari keempat menteri yang sengaja melawan raja dengan mengerahkan seluruh rakyat untuk menentang Raja Bersiung. Hal itu menjadikan Raja Bersiung melarikan diri ke dalam hutan. Pelarian tersebut berakhir tatkala ia tiba di sebuah keluarga yang tidak mengetahui identitasnya dan menerimanya sebagai menantunya, karena ia memperistri salah seorang anaknya. Hasil perkawinan itu membuahkan seorang anak laki-laki.

Anak laki-laki inilah yang kelak menggantikannya menjadi raja karena dengan istri sebelumnya, Raja Bersiung tidak memiliki seorang anak pun. Anak ini diberi nama Raja Phra Ong Mahaputisat. Nama ini diberi oleh Raja Benua Siam, negeri yang masih memiliki ikatan saudara.

Bab III

Semasa Raja Phra Ong Mahaputisat memerintah, Negeri Kedah digambarkan menjadi makmur dan aman sentosa. Sifatnya yang adil dan pemurah sangat jauh berbeda dengan sifat ayahnya, Raja Bersiung.

Maka terlalulah ramainya sekalian pada masa Raja Phra Ong Mahaputisat memegang kerajaan di dalam negeri Kedah itu kerana sangat adilnya dan insaf Raja Phra Ong Mahaputisat di atas segala rakyat bala serta pula dengan baik budinya bahasanya. Maka tiadalah teraniaya lagi segala isi negeri itu dan segala makanan daripada aneka jenis pun terlalu makmurnya (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 82).

Raja Phra Ong Mahaputisat memiliki seorang anak bernama Raja Phra Ong Mahawangsa. Dikisahkan pula di bab ini tentang dua anak angkatnya, Raja Buluh Betung yang muncul tiba-tiba dari pohon buluh betung, serta Putri Seluang yang ditemukan oleh istri Raja Bersiung saat datang banjir air bah. Keduanya kemudian dijadikan anak dan menjadi saudara bagi Raja Phra Ong Mahawangsa. Kisah itu dipaparkan dalam teksnya:

Adapun ayahnya Raja Phra Ong Mahaputisat akan buluh betung itu ditaruhnya susur dengan tempat peraduannya, tiadalah berjauh dengan dia kerana sangat kasih akannya, serta pula buluh itu pun makin sehari makin besar. Setelah demikian maka genaplah bilangannya serta dengan waktu yang sejahtera, maka buluh betung itupun pecahlah lalu keluar seorang kanak-kanak laki-laki, terlalu sekali baik rupa parasnya. Maka sekaliannya terkejutlah dengan hairan melihat budak itu. Maka Raja Phra Ong Mahaputisat pun segera mengambil menjadikan anaknya serta dengan inang pengasuhnya. Maka dinamakan budak itu Raja Buluh Betung (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 80).

Munculnya Putri Seluang diceritakan dalam naskahnya:

Bermula, adalah suatu hari datang air bah sangatlah besarnya. Maka Raja perempuan isteri Raja Bersiung pun pergi ke sungai. Maka dilihatnya ada sebuah bukit yang kecil seperti sebuah rumah rupanya, hanyut hilir daripada hulu Sungai Kuala Muda itu, yang teramat putih rupanya menuju kepada raja perempuan. Demi dilihatnya buih juga rupanya yang datang itu, maka diarung oleh raja perempuan buih itu. Hatta, sampai ke tengah-tengah maka bertemulah dengan seorang budak perempuan yang teramat baik rupanya. Maka segera diambil oleh raja perempuan budak itu dibawa kembali ke istana. Setelah itu dinamai oleh raja perempuan budak itu Puteri Seluang. Maka dipeliharakannya seperti anak yang dijadikannya serta diberi inang pengasuhnya (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 81).

Raja Phra Ong Mahaputisat mangkat dan digantikan oleh anak kandungnya, Raja Phra Ong Mahawangsa. Konon, Raja Phra Ong Mawahangsa memiliki kegemaran meminum arak dan arak nasi. Kegemaran tersebut menjadikannya kebal terhadap segala penyakit. Namun, hanya pada waktu-waktu tertentu saja ia meminumnya, sehingga tidak mabuk. Kegemarannya itu dipaparkan dalam teksnya:

Adapun Raja Phra Ong Mawangsa itu sangatlah gemar ia meminum arak api dan arak nasi akan menjadi tubuhnya sihat daripada penyakit. Maka ditaruhnya bertempayan-tempayan banyaknya, tiadalah kurang. Bahawa sesungguhnya ia meminum arak itu hingga bangun-bangun sahaja daripada tidurnya sebelum lagi membasuh muka, pada ketika itu dimintanya suatu piala cawan kaca yang berisi arak. Maka dituangnya ke mulutnya. Setelah sudah ia minum itu baharulah membasuh mukanya dan makan sirih. Demikianlah pada tiap-tiap hari selama-lamanya, tetapi pada waktu ia makan minum tiada sekali-kali diperbuatnya melainkan pada ketika ia sekalian berusuka-sukaan makan minum dengan menteri hulubalangnya baharulah ia meminum arak api dan arak nasi. Tetapi Raja Phra Ong Mahawangsa itu tiada mahu mendatangkan khayal dan mabuk, kalau-kalau menjadi gila atau pening kepalanya hingga sehari sekali jua ia meminum itu, adanya (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 83).

Bab IV

Bab ini mengisahkan tentang awal mula masuknya Islam di Negeri Kedah, yang dibawa oleh Syeh Abdullah Yamani dari Baghdad. Alkisah, Syek Abdullah Yamani ini adalah seorang hafidz Qur‘an (penghafal Qur‘an), sehingga kemana pun ia pergi, mulutnya senantiasa melafalkan ayat-ayat Allah. Suatu ketika, tertarik dengan iblis saat ia membaca sebuah kitab tafsir Qur‘an. Maka, ia pun menghadap gurunya dan memohon untuk bertemu dengan iblis dan menjadi muridnya. Keinginan itu dikabulkan oleh gurunya, setelah sebelumnya memperingatkan bahwa segala amal ibadahnya akan sia-sia dan ia akan berada di atas jalan yang sesat. Karena keingintauan yang besar, Syek Abdullah Yamani tetap bersikeras pada keinginannya. Maka jadilah ia murid iblis itu.

Oleh sang iblis, ia diberi tongkat yang mampu menghilangkan wujudnya di dunia. Ia kemudian ikut berkeliling dunia dengan iblis tersebut, melihat bagaimana sang iblis memporakporandakan dunia dan menjadikan manusia berada di jalan yang sesat. Sepanjang perjalanan mereka, iblis itu tak henti-hentinya mengobarkan kekacauan. Setiap kali iblis lewat, maka muncullah perkelahian, pembunuhan, dan kekacauan lain yang sengaja dibuatnya akibat bisikan-bisikan iblis dan pengikutnya ke dalam hati manusia. Berikut ini beberapa petikan teknya yang menggambarkan perilaku jahat iblis:

Maka tatkala itu tuan kampung itu tengah hendak berkelahi berbabil berebut-rebut seorang sekerat kampung dan dusun itu. Maka penghulu syaitan itu menyuruh anak cucunya berhimpun berkeliling itu daripada kedua belah pihak kaum itu pun dihunjamnya dengan rahsia yang ghaib oleh penghulu iblis itu disuruh berkelahi. Telah jadi sekaliannya berbunuh-bunuh dengan sorak tempik sekaliannya bergemuruh dan berdahanam bunyinya dengan tiada diketahui oleh segala manusia....(dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 88-89).

Maka berjalan pula penghulu iblis itu ke tempat yang lain. Maka tinggallah anak cucunya pada tempat itu. Maka sampailah ia kepada tempat orang berjual beli daripada serba dagangan dan makanan dan apabila sampai ia kepada tempat yang cair-cair di situlah yang amat banyak berak kencingnya serta disuruh anak cucu mereka itu(dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 89).

Maka berjlan pula penghulu iblis itu serta dengan tuan Syekh itu, sampailah pada seorang perempuan yang baik rupa parasnya. (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 89).

...Maka dihampiri dekat perempuan itu lalu diisyaratkan oleh penghulu iblis dengan diselakkan kain di dadanya lalu ditolakkannya seorang laki-laki yang muda berkata-kata dan bergurau senda dengan perempuan itu. Seketika datanglah lakinya perempuan itu. Maka marahlah ia langsung menjadi berkelahi dengan orang itu. Maka disuruh kepada anak cucunya mengacau orang itu suruh bertikam. Maka jadi berbunuh-bunuhlah orang itu(dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 89).

Demikianlah iblis mengganggu manusia, menyuruh berbuat dosa. Hingga suatu ketika, sampailah iblis itu di Negeri Kedah, tempat Raja Phra Ong Mahawangsa bernaung. Tahu akan kegemaran sang raja yang suka minum arak, maka diisilah cawan raja itu dengan air kencingnya. Seketika itu, Syekh Abdullah Yamani menegur perilaku iblis itu. Teguran itu mengakhiri petualangannya berguru dengan iblis, karena sebelumnya iblis telah memintanya untuk tidak menegur segala perbuatannya terhadap manusia. Maka, putuslah hubungan keduanya, dan diambilnya tongkat ajaib yang mampu menghilangkan wujud Syekh itu, sehingga terlihatlah sosok Syekh Abdullah Yamani di kamar raja.

Setelah itu maka penghulu syaitan pun berjalanlah ke negeri yang lain pula menuju segala kota negeri raja-raja yang di susur tepi laut itu. Maka sampailah kepada sebuah negeri rajanya kafir, makan arak. Serta sampai penghulu syaitan dengan Syekh Abdullah, maka naiklah ke istana Raja Phra Ong Mahawangsa itu, menuju masuk keduanya ke tempat peraduan. Masa itu raja tengah tidur. Serta datang berdiri keduanya di susur kelambu raja itu. Maka raja itu pun bangunlah daripada beradunya meminta piala araknya. Maka budak-budak raja pun mengambil guri araknya, ditahan piala di bawahnya. Baharu ia hendak tuang sahaja, datanglah penghulu iblis serta diselak kainnya lalu dikencing ke dalam piala itu, sedikit arak banyak air kencing. Maka budak itu pun persembahkan kepada raja. Maka raja pun minumlah arak suatu piala itu. Setelah sudah terminum, maka Syekh Abdullah pun berkatalah kepada penghulu syaitan, katanya, ”astagfirullahhal adzim, betapa juga tuan hamba beri minum air kencing tuan hamba kepada raja itu?” (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 107).

Maka kata penghulu syaitan, ”Bukankah hamba kata dan pesan jangan tuan hamba tegur barang perbuatan hamba di atasnya segala manusia?” Maka kata Syekh Abdullah kepada penghulu syaitan itu, ”Pada tempat yang lain tiadalah hamba tegur. Ini ia seorang raja besar, memegang suatu negeri. Maka sampai hemat tuan hamba memberi ia minum air kencing.” (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 107-108).

Maka Raja Phra Ong Mahawangsa pun amat menjadi hairan bunyi orang berbabil di tepi kelambunya. Maka tiada kelihatan suara sahaja yang didengar, menjadi tiadalah terbasuh mukanya duduk melengung mendengar akan hal perbabilan keduanya. Maka penghulu syaitan pun datanglah marahnya akan Syekh Abdullah, katanya, ”Jika sudah banyak pandai tuan hamba, bercerailah kita, ”sambil dirabutnya tongkat yang di tangan Syekh Abdullah itu dan ditumbuknya sekali lalu turunlah dari istana raja itu, hilang ghaib (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 108).

Maka Syekh Abdullah pun kelihatanlah kepada mata orang, terdiri di hadapan raja. Maka raja pun terkejut langsung bangun berdiri memegang tangan Syekh Abdullah, katanya, ”Dengan siapa tuan berkata-kata sekejap ini dan dari mana juga tuan datang ke peraduan hamba ini, lengkap dengan segala pakaian, alamat orang jauh dan siapa juga membawa tuan kemari ini, kerana budak-budak perempuan lagi tidur?” (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 108).

...Maka kata Syekh Abdullah, ”Yalah, tuanku. Adapun hamba ini anak negeri Yamani, datang daripada negeri guru hamba, negeri Baghdad, dibawa oleh iblis kerana hamba hendak berguru dan melihat segala perbuatan syaitan dan diberi suatu tongkat kepada hamba, menjadi hilanglah daripada mata orang banyak, dan beberapa perbuatan di atas segala manusia, perbuatannya semata-mata kejahatan jua, hingga sampai ke istana tuanku ini.” (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 108).

Keduanya kemudian bercakap-cakap, dan Syekh Abdullah mulai mengenalkan agama Islam dan mengislamkan Raja Phra Ong Mahawangsa saat itu juga. Sejak saat itu, Syekh Abdullah Yamani menjadi muballigh di Negeri Kedah, yang mengislamkan Raja Phra Ong Mahawangsa dan segenap rakyatnya. Raja kemudian berganti nama menjadi Sultan Muzalfal Syah.

Syekh Abdullah juga mengajak raja dan rakyatnya melakukan sholat lima waktu, sholat jumat, serta membayar zakat. Raja juga memerintahkan rakyatnya untuk membangun masjid-masjid dan menyuruh mereka berguru kepada Syekh Abdullah, hingga hampir semua rakyatnya menganut Islam dan menjalankan syariat agama Islam sepenuhnya.

Saat itu, Sultan Muzalfah Syah memiliki tida orang putera, yang diberi nama Islam, yaitu Raja Muazzam Syah, Raja Mahmud Syah, serta Raja Sulaiman Syah. Ketiganya juga berguru kepada Syekh Abdullah Yamani dalam memahami Islam. Setelah lama di Negeri Kedah, Syekh Abdullah kembali ke Baghdad.

Bab V

Bab ini secara ringkas menceritakan silsilah raja-raja Kedah setelah Sultan Muzalfal Syah. Kisah ini diawali dengan pulangnya Syekh Abdullah Yamani ke negeri Baghdad untuk bertemu gurunya dan menceritakan petualangannya hingga mengislamkan raja beserta rakyatnya di negeri Kedah. Berikut ini petikan cerita Syekh Abdullah Yamani kepada gurunya:

...Setelah sampai maka naiklah Syekh Abdullah mendapatkan gurunya. Maka Syekh Abdullah tua pun terkejut, katanya, ”Di mana jua begini lama tuan mendiamkan diri? Lama benar tiada hamba bertemu dengan tuan hamba.” (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 122).

Maka kata tuan Syekh Abdullah, ”Bukankah hamba tuan datang mengadap kadam tuan, pinta tolong tuan pohonkan kepada Allah Taala pinta pertemukan hamba dengan syaitan iblis kerana hamba tuan hendak ketahui dan belajar segala perbuatannya? Maka lalu sabda tuan suruh hamba pergi ke tengah padang besar di bawah sepohon kayu, duduk. Maka hamba tuan pun pergilah duduk di bawah pohon kayu itu. Maka dengan tolong Allah Subhanahu wa Taala berkat doa tuan dikabulkan Allah Taala peminta hambanya dan disampaikan jua seperti hajat hamba tuan. Maka datanglah penghulu syaitan itu memberi salam akan hamba tuan; maka hamba tuan pun menyahut salamnya. Maka ditanya kepada hamba apakah hajat hamba hendak berjumpa dengan dia; lalu hamba tuan katakan seperti maksud hamba kepadanya. Setelah itu maka diajak hamba tuan pergi bersama-sama dengan dia serta diberinya satu tongkatnya akan hamba, suruh pegang, jangan lepas. Maka hamba tuan pegang lalu mengikutlah perjalanannya.” (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 122).

Maka Tuan Syekh Abdullah tua pun baharulah teringat akan hal itu lalu bertanya kepada muridnya itu peri ia pergi mengikut syaitan iblis itu. Maka segala perbuatan syaitan iblis itu sekaliannya dikhabarkan kepada gurunya daripada awal dibawa oleh iblis pergi pada dusun orang itu dan daripada satu negeri ke satu negeri sampai pergi ke negeri Kedah, lalu dibawa masuk ke dalam istana Raja Phra Ong Mahawangsa, raja di negeri Kedah itu dan peri ditinggalkan oleh penghulu syaitan akan dia dan dirampas ambil tongkatnya oleh penghulu syaitan daripada tangannya dan peri ia membawa Islamkan Raja Phra Ong Mahawangsa itu serta dengan menteri hulubalang rakyat bala sekalian dengan istrirahatnya tiada dengan kesukaran sekalian itu masuk agama Islam mengikut syariat Nabi Muhammad Rasulu‘Llahisalla‘Llahu ‘alayhi wa sallam, sekaliannya diceterakan oleh Tuan Syekh Abdullah sampai kesudahannya, suatu pun tiada di lindungkan kepada gurunya (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 122-123).

Maka Tuan Syekh Abdullah tua pun terlalu hairan dan ajaib kebesaran Allah Subhanahu wa Taala mendengar ceritera muridnya itu. Maka Syekh Abdullah tua mengucap seribu syukur akan Allah Taala, kemudian meminta doa akan Sultan Muzalfal Syah dan Sultan Muazzam Syah dengan segala isi negeri Kedah itu, dipinta kepada Allah Subhanahu wa Taala bertambah-tambah iman dan taat. Setelah sudah maka Tuan Syekh Abdullah Yamani pun bermohonlah kepada gurunya kembali ke rumahnya. Maka duduklah ia dengan gurunya sediakala. (dalam Salleh, 1998: transliterasi hal. 123).

Kisah dalam hikayat ini diakhiri dengan menguraikan silsilah raja-raja Kedah keturunan Sultan Muzalfah Syah, secara berturut-turut, Sultan Muazzam Syah, Sultan Muhammad Syah, Sultan Muzaffar Syah, Sultan Mahmud Syah, Sultan Sulaiman Syah, Sultan Rijaluddin Mhammad Syah (alias Marhum Naka), Sultan Muhyidin Mansyur Syah (Marhum Sena), Sultan Ziauddin Mukarram Syah (Marhum Ilir atau Kebalai), Sultan Ataullah Muhammad Syah (Marhum Bukit Pinang), Sultan Muhammad Jiwa Zainul Adilin Muazzam Syah (Marhum Kayangan), Sultan Abdullah al-Mukarram Syah (Marhum Muda Bukit Pinang), Sultan Muhammad Jiwa Zainul Adilin Muazzam Syah (Marhum Muda Kayangan), serta Sultan Ahmad Tajuddin Halim Syah.

3. Deskripsi manuskrip

Manuskrip Hikayat Merong Mahawangsa versi R.J. Wilkinson saat ini masih tersimpan dengan baik di Muzium Negeri Kedah, di Alor Setar. Selain disimpan di Muzium itu, manuskrip ini juga disimpan dalam bentuk digital di situs www.ftsm.ukm.my. Manuskrip ini bertuliskan huruf Arab-Melayu dengan hiasan bunga-bunga cantik di bagian pinggirnya. Manuskrip versi ini terdiri dari 113 halaman dengan ukuran 13 cm x 8.4 cm. Naskah ini dicetak oleh Kim Sik Hian Press. Cetakan yang lebih baru dibuat oleh Yayasan Karyawan dan Penerbit Universiti Malaya, Kuala Lumpur berbentuk buku. Cetakan baru itu dibuat dalam rangka penerbitan buku kajian dan analisis Siti Hawa Haji Salleh terhadap hikayat ini. Buku berikut salinan manuskrip di belakangnya terbit pada tahun 1998.

Manuskrip lainnya, MS. Maxwell 16 dan 21, tersimpan dengan baik di Royal Asiatic Society, London. Tidak diketahui kondisi dan deskripsi kedua manuskrip tersebut karena tidak ditemukan data fisik maupun digital yang memuat tentang manuskrip versi ini. Demikian pula manuskrip Hikayat Merong Mahawangsa, versi Aj. Sturrockdan versi Von de Wall, keduanya tidak dapat diungkapkan karena ketiadaan data tentang keduanya.

4. Nilai-nilai yang Terkandung di Dalamnya

Pada hakekatnya, Hikayat Merong Mahawangsa merupakan salah satu karya yang memiliki banyak nilai-nilai yang dapat kita kaji. Nilai-nilai itu di antaranya ialah:

a. Cerminan alam pikiran Melayu di jaman itu.

Sebagian besar hikayat berisi gambaran pemikiran masyarakat di zamannya. Dalam hikayat ini diterakan cerita asal-usul raja dengan segenap mitos-mitos yang menyertainya. Tujuannya ialah untuk menguatkan rasa taat setia rakyat terhadap rajanya maupun terhadap keturunannya. Adanya mitos-mitos yang diselipkan di dalam hikayat tersebut merupakan pengaruh dari agama Hindu (Salleh, 1998). Penggunaan mitos-mitos ini sesuai dengan keyakinan masyarakat di jaman itu, sehingga cerita di dalamnya mendapat ”spirit” yang mampu menguatkan dan menggerakkan masyarakat untuk meyakini dan mematuhi pesan yang terselip didalamnya. Pada masa itu, dalam rangka mengukuhkan dan memperkuat kekuasaan raja, para pengisah cerita maupun pendakwah agama biasanya menceritakan hal-hal yang sesuai dengan ”pesanan” raja agar kekuasaannya tetap kokoh, tentunya sesuai alur pemikiran rakyat pada masanya.

b. Petuah tentang konsep ”raja adil raja disembah, raja zalim raja disanggah”.

Dalam hikayat ini terdapat pesan moral yang sangat krusial, yaitu tentang tindak tanduk seorang pemimpin yang patut ditaati. Salleh (1998) menganalisis konsep ”raja adil raja disembah, raja zalim raja disanggah” sesungguhnya mencerminkan bahwa tipe pemimpin yang baik dan dipatuhi oleh rakyatnya adalah pemimpin yang adil bijaksana. Sebaliknya, seorang pemimpin yang zalim dengan sendirinya akan dijatuhkan oleh rakyatnya. Demikian halnya yang terjadi dalam Hikayat Merong Mahawangsa. Hikayat ini pada intinya mengisahkan raja-raja Kedah yang adil dan bijaksana. Sayangnya, ada salah satu keturunan raja yang memiliki perangai buruk, senang membunuh rakyatnya. Raja ini dikenal dengan sebutan Raja Bersiung, karena ia memang memiliki gigi bersiung –sebuah simbol bagi perilaku buruk. Akibat perilaku buruknya itulah Raja Bersiung dibenci oleh rakyatnya dan diruntuhkan kekuasaannya.

c. Multikulturalisme dan pluralisme agama

Di masa itu, sebagian mitos dan legenda berasal dari peradaban Hindu, sedangkan cerita yang dipengaruhi agama Islam diyakini sebagai peristiwa yang sebenar-benarnya. Pandangan ini menyiratkan adanya pluralisme agama yang tengah terjadi. Bahkan, analisis Winstedt (Salleh, 1998) menyebutkan bahwa:

  1. Cerita tentang Raja Buluh Betung adalah mitos setempat
  2. Kisah Raja Bersiung berasal dari mitos India
  3. Pengembaraan Syekh Abdullah dengan penghulu syetan diciptakan oleh pengarang Jawa
  4. Adanya sebutan tentang Seri Rama dan Hanuman disebabkan pengaruh wayang kulit Siam
  5. Sebutan tentang Nabi Sulaiman merupakan pengaruh dari agama Islam

Dalam aspek kebahasaan, hikayat ini masih dicampuri oleh berbagai pengaruh budaya asing. Di satu sisi, adanya kosa kata Arab memperlihatkan bahwa pengaruh bahasa Arab sudah tampak dalam berbagai aspek kebahasaan. Di sisi lain, pengaruh dari bahasa Sansekerta belum hilang benar (SR, 2007).

Dengan demikian, asumsi-asumsi di atas menguatkan adanya multikulturalisme dan pluralisme di Kerajaan Kedah yang mengawali perkembangan agama Islam di masa itu.

d. Indikasi bahwa ini adalah manuskrip tertua

Ding Cho Ming menganalisis bahwa manuskrip Merong Mahawangsa ini merupakan manuskrip tertua. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya pengaruh budaya yang menyertai di dalamnya. Banyaknya pengisah lisan dengan beragam versi yang dibawanya, baik bahasa, budaya, isi dan bumbu cerita yang berbeda-beda semakin membuktikan bahwa manuskrip ini adalah manuskrip yang tertua.

e. Penyebaran agama Islam (dakwah Islam)

Adanya mitos-mitos dan legenda seperti cuplikan kisah Raja Sulaiman yang bisa berbicara dengan binatang mencerminkan proses perkembangan dakwah Islam. Selain itu, hikayat ini juga kental dengan beberapa kosa kata yang berasal dari bahasa Arab, di antaranya zaman, ibnu, ‘alim muta‘allim, fakir, hadzir, kitab dan sebagainya. Petikan ini juga menunjukkan bahwa cerita tersebut digunakan sebagai alat untuk berdakwah bagi penyebaran agama Islam yang kala itu mulai berkembang pesat.

(Nanum Sofia/sej/04/04-2009)

Source: history.melayuonline.com (Hikayat Merong Mahawangsa)

5 comments:

  1. Jika Hikayat Merong Mahawangsa ini ditulis pada kurun ke 17 atau kemudiannya, memang logik berlaku banyak kesalahan fakta dan tunggang terbalik seperti munculnya kisah Raja Sulaiman padahal baginda dari zaman jauh terdahulu, dicampur pula dengan banyak mitos tak masuk akal seperti keluar dari buluh betung, maka pembacanya seperti saya pada zaman sekolah dahulu menjadi bingung dan tidak mengambil kisah sangat akan hikayat ini.Memang masa itu saya menganggapnya hanya fiksyen sejarah dan cerita sensasi seperti Raja Bersiung yang terkenal itu tentu tidak dilepaskan penulisnya.

    Tetapi sekarang kita mempunyai UUK yang mula ditulis lebih awal pada 222 Hijrah untuk diperbandingkan fakta-fakta sejarahnya.Kajian Firdausi tentu lebih menyakinkan kerana beliau ada merujuk kepada UUK dan waris mutlak Merong Mahawangsa TNLK.

    Selain versi original di bakar Thai pada 1821, perlu diingat era selepas itu telah berlaku banyak penulisan sejarah palsu disertai musuh Siam yang pro-Thai dan dinaungi oleh British di pelabuhan Malaka.Banyak karya-karya penting seperti Salatus Salatin dan Merong Mahawangsa sendiri telah disalin dan diedit menjadi pelbagai versi. Menurut SNK, Tunku Ahmad Tajuddin telah menokok tambah nama keluarga beliau dalam salasilah raja-raja Kedah dalam HMM untuk memperdaya British bawasa beliau raja Kedah yang sah.

    BalasPadam
  2. Kurang fasihnya para penyelidik MMW dalam bahasa Siam (atau tidak merujuk kepada sumber berwibawa)menyebabkan Mahaphodiset yang bermakna "anak lelaki paling baik" itu dieja menjadi Mahapusitat atau Mahapudisat yang tidak membawa maksud apa-apa dan jelek bunyinya.

    BalasPadam
  3. Hikayat Merong Mahawangsa... adakah di ulasan TMP lebih menitik beratkan ttg keIslaman yg sebenarnya ada dlm hikayat Merong Mahawangsa?...
    mungkin fakta saya tidak sekukuh kalian kerna sy masih setahun jagong. tp adakah berkemungkinan Raja Thai sekarang ini mmg bukan malah tidak ada kena-mengena langsung dlm susur-galur Merong Mahawangsa. ini adalah kerana Raja Thai skrg ini dan susur galur sebelumnya adalah beragama buddha dan bukannya hindu dan merupakan sami. Merong Mahawangsa di dalam hikayatnya tidak menyebut langsung ttg per'sami'an oleh Merong. Tetapi, dirasakan terlibat dengan hikayat ini adlah Raja Pattani dan beberapa negeri di selatan Thai shj yg ada kena-mengena dengan Merong Mahawangsa dan Raja Kedah. itulah sebabnya penyebaran agama Islam lebih meluas di tanah selatan Thai malah mereka kebanyakannya adalah malayu Thai (bangsa melayu di Thailand dipanggil Malayu). menurut TMP, Siam adalah malayu Islam dan Thai itu buddha. saya agak ragu2 dgn kenyataan ini kerana mengapa org barat atau di mana2 shj tempat di dunia ini pada zaman datuk nenek moyang memanggil bangsa yg menetap di Thailand ketika itu adalah Siam dan bukannya Thai? tidak kiralah mereka Islam ataupun Buddha. saya rasa siam dan thai adalah sama cuma penggunaan perkataan tersebut adalah berlandaskan kepada faktor zaman dan masa. seperkara lagi, dirasakan bhw Merong Mahawangsa bukanlah beragama Islam malah dtg ke Kedah pada waktu itu bukanlah utk menyebarkan agama Islam. kekuatan fakta ini adalah terjumpanya candi hindu di Kedah lama. adakah mungkin candi tersebut ada kaitan dengan Merong Mahawangsa, keturunan, dan bangsanya?

    BalasPadam
  4. Hikayat Merong Mahawangsa... adakah di ulasan TMP lebih menitik beratkan ttg keIslaman yg sebenarnya ada dlm hikayat Merong Mahawangsa?...
    mungkin fakta saya tidak sekukuh kalian kerna sy masih setahun jagong. tp adakah berkemungkinan Raja Thai sekarang ini mmg bukan malah tidak ada kena-mengena langsung dlm susur-galur Merong Mahawangsa. ini adalah kerana Raja Thai skrg ini dan susur galur sebelumnya adalah beragama buddha dan merupakan sami. Merong Mahawangsa di dalam hikayatnya tidak menyebut langsung ttg per'sami'an oleh Merong. Tetapi, dirasakan terlibat dengan hikayat ini adlah Raja Pattani dan beberapa negeri di selatan Thai shj yg ada kena-mengena dengan Merong Mahawangsa dan Raja Kedah. itulah sebabnya penyebaran agama Islam lebih meluas di tanah selatan Thai malah mereka kebanyakannya adalah malayu Thai (bangsa melayu di Thailand dipanggil Malayu). menurut TMP, Siam adalah malayu Islam dan Thai itu buddha. saya agak ragu2 dgn kenyataan ini kerana mengapa org barat atau di mana2 shj tempat di dunia ini pada zaman datuk nenek moyang memanggil bangsa yg menetap di Thailand ketika itu adalah Siam dan bukannya Thai? tidak kiralah mereka Islam ataupun Buddha. saya rasa siam dan thai adalah sama cuma penggunaan perkataan tersebut adalah berlandaskan kepada faktor zaman dan masa. seperkara lagi, dirasakan bhw Merong Mahawangsa bukanlah beragama Islam malah dtg ke Kedah pada waktu itu bukanlah utk menyebarkan agama Islam. kekuatan fakta ini adalah terjumpanya candi hindu di Kedah lama. adakah mungkin candi tersebut ada kaitan dengan Merong Mahawangsa, keturunan, dan bangsanya?

    BalasPadam
  5. Salam saudara.

    Saya nak jawab satu je. Cari makna Merong Mahawangsa.

    wassalam,

    BalasPadam

Assalamu'alaikum wbt dan salam sejahtera. Selamat membaca.

 

Copyright © T H E . M A L A Y . P R E S S Design by Free CSS Templates | Blogger Theme by BTDesigner | Powered by Blogger